DILEMA TUGAS KELOMPOK


sumber: kampusholic.co

Salah satu pekerjaan rutin seorang mahasiswa adalah mengerjakan tugas. Berdasarkan pengalaman, rata-rata tugas kuliah itu dikerjakan secara kelompok. Pembagian kelompok pun lebih sering suka-suka dosennya. Alhasil, pembagian secara random ini kadang memaksa untuk menyatukan si malas dan si rajin dalam satu kelompok. Dan yang terjadi adalah, si malas sering tidak ikut mengerjakan tugas karena merasa sudah ada si rajin yang pasti mengerjakan. Ada juga si malas yang tidak ikut mengerjakan karena merasa tidak di ajak oleh si rajin. Meski tidak semuanya, si rajin cenderung tidak percaya dengan hasil pekerjaan si malas. Akhirnya, gayung pun bersambut si rajin akan mengerjakan tugas kelompok ini sendirian dan mengabaikan si malas. Yang penting nilai bagus, si malas paham atau tidak tentang materinya urusan belakangan. Si malas yang terus-terusan diperlakukan seperti ini akan merasa semakin nyaman dengan kemalasannya dan akan semakin menggantungkan nasibnya kepada teman-temannya.

Begitu kira-kira yang saya alami ketika melihat fenomena tugas kelompok selama menjadi mahasiswa.

Tugas Kelompok Rasa Individu
Diakui atau tidak fenomena tugas kelompok ini kadang menjadi sebuah dilema. Saya pun merasakannya. Dari semester satu, saya lebih sering punya teman satu kelompok yang cenderung pemalas (dari tampak luarnya memang begitu). Pada masa awal kuliah, saya pribadi lebih sering mengabaikan mereka dalam hal mengerjakan tugas. Ya karena tadi, kurang percaya dengan hasil pekerjaan si malas ini. Saya pun lebih sering mengerjakan tugas kelompok ini sendiri, atau kalau pas kebetulan satu kelompok ada teman yang rajin ya sama si rajin ini ngerjainnya. Mungkin kelihatan sok rajin dan sombong ya, seperti yang saya utarakan di awal tadi. Tapi, tak apa toh nyatanya saya memang pernah seperti itu. Teman-teman yang saya sebut si malas ini tugasnya hanya nerima tugas jadi, dan foto copy buat materi presentasi. Soal nanti presentasinya mereka bagaimana, itu urusan belakangan. Yang penting nilai bagus.

Kebiasaan ini terus berlanjut sampai saya masuk semester 3, di mana saat itu saya mulai sok sibuk dengan kegiatan UKM (kebetulan penulis dulu ikut salah satu UKM bela diri). Nah, mulai semester 3 itulah saya mulai kelimpungan kalau harus mengerjakan tugas kelompok tapi rasa individu. Karena saya sendiri juga masih sering satu kelompok dengan orang-orang yang sama sejak semester satu, mau tak mau, saya pun harus mulai merubah cara mengerjakan tugas kelompok ini. Lebih tepatnya, mulai melibatkan teman-teman yang lain untuk lebih banyak berperan dalam mengerjakan tugas.

Awalnya saya mulai dari yang simpel-simpel, saya cari buku di perpus, saya baca, kemudian minta tolong sama teman satu kelompok buat ngetik. Dan ternyata anggapan khalayak ramai tentang para pemalas ini tidak 100% tepat. Nyatanya, teman-teman yang saya mintai tolong buat ngetik tadi cepet juga nyelesein materi yang harus diketiknya, paling 1-3 hari kelar, walaupun ada juga si yang kadang sampai 1 minggu. Tapi, intinya adalah sebenarnya meski banyak yang bilang mereka ini malas (termasuk penulis juga), tapi sebenarnya mereka mau juga lho diajak ngerjain tugas.

Lambat laun, saya pun mulai lebih banyak mempercayai teman-teman 1 kelompok yang sampai semester tua juga masih itu-itu saja untuk ikut berperan lebih dalam membuat tugas. Saya nggak nyari buku lagi, palingan cuma bilang,

Eh bro, kamu ngerjain materi tentang topik A ya, aku urus yang B”. (kira-kira begitu)

Dan ternyata mereka bisa lho. Memang si, hasilnya kadang kurang sesuai dengan ekspektasi saya, dan nyeleseinnya juga jadi lebih lama. Tapi, yang penting nggak keluar dari topik, itu aja. Dan ending nya, ketikan-ketikan dari temen 1 kelompok ini tinggal saya susun dan dirapiin, selesai. Soal foto copy, kita gantian. Semacam giliranlah. Jadi, semua anggota kelompok punya porsi tugas yang sama. Soal presentasi? Otomatis mereka-mereka ini jadi lebih tau dan lebih enteng ketika ngasi penjelasan, meskipun masih ada juga yang gagap. Tapi, lebih baik dari pada pas awal-awal jadi mahasiswa lah. Semakin lama, saya semakin menghargai keberadaan mereka. Dan saya pun tidak kelimpungan lagi ketika mengerjakan tugas. Seperti apapun hasil pekerjaan mereka, selama tidak keluar dari topik saya tidak akan mengedit apa lagi menghapus materi yang sudah susah-susah mereka ketik.

Anggaplah Keberadaan Si Malas
Sebenarnya, teman-teman sekelas juga banyak yang mengalami nasib serupa, mengerjakan tugas kelompok tapi rasa individu. Ya, seperti saya pada semester awal dulu. Nggak percaya sama teman kelompok yang saya anggap malas dan akhirnya tugas saya kerjakan sendiri. Rasa tidak percaya pada kemampuan si malas sering membuat si rajin menjadi sok pintar (maaf kalau terlalu kasar). Merasa bahwa hasil tugas kelompok akan lebih bagus jika ia kerjakan sendiri di banding dikerjakan bersama-sama dengan si malas.

Saya punya teman sekelas, sebut saja dia Ilham. Ilham pernah membuat tugas kelompok dengan salah satu mahasiswa paling rajin di jurusan saya, sebut saja Ita. Kebetulan waktu itu, 1 kelompok anggotanya cuma 2 orang. Saya tidak tau bagaimana proses ketika 2 orang ini menyusun makalahnya. Namun, ketika presentasi Ilham seperti patung, diam di depan kelas dan hanya sesekali buka mulut. Ita menguasai presentasi kala itu, dan Ita pula yang lebih sering menjawab pertanyaan dari teman-teman di kelas. Setelah presentasi selesai, Ilham duduk di samping saya.

Bro, kenapa diem aja tadi?” tanya saya ke Ilham.

Aku gak paham sama isi materinya.” Ilham menjawab.

Emang kamu nggak ikut buat makalahnya?” saya tanya lagi dengan sedikit mengernyitkan dahi.

Aku udah ngetik topik yang Ita kasih, tapi nggak tau. Tadi pas aku baca makalahnya, hasil ketikanku nggak ada sama sekali.” Jawab Ilham sambil agak menggerutu.

Sudah susah-susah buat tugas, eh malah dihapus sama teman sekelompoknya. Tiap orang emang kemampuannya beda-beda. Namun, ketika kita merasa sok pintar dan men judge hasil pekerjaan orang lain itu salah, dan langsung menghapusnya, padahal kita berada dalam posisi yang sama dengan dia yang kita judge salah tadi, bukankah berarti kita sombong bro? Kalau toh beneran salah dan melenceng dari topik, kenapa nggak diomongin dulu ke orangnya? Kan bisa diperbaiki. Bukannya langsung menghapus dan membuat teman kita diam seribu bahasa ketika saat prsentasi tiba. Bukankah tindakan seperti itu juga malah bisa membuat teman kita menjadi semakin malas untuk ikut berkontribusi mengerjakan tugas bersama kita lagi?

Ada lagi nih, teman satu kelas saya yang sering dianggap malas karena jarang ikut mengerjakan tugas kelompok, sebut saja Uki (Uki ini juga sering 1 kelompok sama saya). Uki ini pernah terang-terangan ngomong di dalam kelas dengan nada dan suara yang tinggi,

Gimana kita mau ngerjain tugas, kalau setiap mau ngerjain aja kitanya nggak pernah diajak, nggak pernah dikasih tahu.”

Mungkin maksudnya dia, keberadaannya dan teman-teman yang dianggap setipe dengannya tidak pernah dianggap dalam setiap tugas kelompok.

Emang sih, sebagai mahasiswa harusnya dia tahu apa tanggung jawabnya dan apa yang harus dia kerjakan, tidak menunggu ajakan atau diingatkan oleh orang lain. Tapi, ketika orang-orang sudah lebih dulu menghakimi beramai-ramai bahwa kita ini termasuk golongan si malas yang tidak bisa diajak kerja sama, padahal kita juga mau diajak kerja sama, bukankah itu cukup ngeselin dan akan semakin membuat kita sendiri semakin masa bodoh dengan orang-orang yang menghakimi tadi. Belum juga dicoba kenapa sudah men judge kita dengan buruk?

Si Uki ini sebenarnya juga bisa diajak kerja bareng, walaupun emang harus diajak dulu. Ya, barang kali karena penghakiman-penghakiman dari teman-temannya juga (termasuk saya pada awalnya) yang pada akhirnya membuat dia malas beneran. Meski awalnya ragu, saya akhirnya bisa mempercayainya untuk bisa diajak kerja sama buat ngerjain tugas. Dan hasilnya juga tidak buruk. Malah presentasi saya jadi lebih hidup. Karena nggak cuma 1 orang yang menguasai materi.

Intinya, adalah semakin kita tidak menganggap keberadaan orang-orang yang kita anggap malas tadi dengan tidak mempercayai dia untuk kita ajak bekerja sama, maka dia akan semakin menjadi orang yang benar-benar malas. Maka, mengapa kita tidak membantu orang-orang yang kita anggap malas ini untuk membangkitkan semangat studinya dengan ikut mengajaknya mengerjakan tugas kelompok? Percayalah, meski hasil tugasnya kadang kurang sesuai ekspektasi jika dibandingkan dengan kita kerjakan sendiri, tapi dari sana kita akan belajar menghargai pekerjaan dan jerih payah orang lain. Kita tidak akan mudah menyalahkan, sebaliknya kita akan belajar untuk memperbaiki kesalahan secara bersama-sama. Yang lebih penting, kita sudah mengajak orang lain untuk berjalan ke arah yang lebih baik dan bisa jadi kita juga sudah membantu mengurangi jumlah populasi pemalas di negeri ini. Hahaha.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SETELAH WISUDA MAU APA?

TIPE-TIPE MAHASISWA: MAKHLUK KAMPUS YANG SOK SIBUK