Sejarah Perjuangan Nusantara
SEJARAH PERJUANGAN NUSANTARA
MAKALAH
Disusun
Guna Memenuhi Tugas
Kunjungan
ke Museum Ronggowarsito
Dosen
Pengampu : M. Rikza Chamami, M. SI.
Disusun
Oleh :
Firdha Naili
Fitriyani (
123311017 )
Iftitahul
Hidayah (
123311021 )
Min Khatul Maula ( 123311026 )
Muhammad Ali
Riza Sihbudi ( 123311029 )
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013
SEJARAH PERJUANGAN NUSANTARA
I.
PENDAHULUAN
Proklamasi kemerdekaan yang dikumandangkan di Jalan Pegangsaan
Timur No. 56 Jakarta pada tanggal 17 Agustus 1945 bukanlah akhir dari
perjuangan bangsa Indonesia. Justru bangsa Indonesia harus waspada terhadap dua
musuh sekaligus. Seperti yang telah diketahui bahwa setelah menyerah kepada
sekutu pada tanggal 15 Agusutus 1945, Jepang diwajibkan menjaga dan
mempertahankan status quo wilayah Indonesia sampai sekutu datang di
Indonesia. Sementara, sebagai pihak yang memenangkan peperangan, sekutu merasa
berhak menerima wilayah Indonesia dari tangan Jepang. Kenyataan seperti ini
mengharuskan bangsa Indonesia unutk mewaspadai dua hal. Pertama, menghadapi
Jepang yang harus menjaga status quo Indonesia sampai datangnya tentara
sekutu. Kedua, mengahadapi kedatangan tentara sekutu yang bermaksud membebaskan
tawanan perang dan sekaligus mengambil alih wilayah Indonesia dari tangan
Jepang.
Peristiwa-peristiwa perjuangan rakyat Indonesia dalam
mempertahankan kedaulatan rakyat Indonesia juga terdapat di Museum
Ronggowaristo, Semarang. Perjuangan-perjuangan tersebut tergambarkan dalam
beberapa miniatur-miniatur patung. Sedikit banyak gambaran-gambaran tersebut
dapat membawa kita berpetualang di masa lalu dan seolah-olah kita benar-benar
ikut dalam perisitiwa-peristiwa tersebut. Di Museum Ronggowarsito juga terdapat
beberapa foto monumen-monumen bersejarah di Indonesia, terutama di Jawa Tengah
yang didirikan untuk mengenang sejarah perjuangan rakyat Indonesia dalam
mempertahankan kedaulatan bangsa.
Berdasarkan studi lapangan ke Museum Ronggowarsito pada hari
Jum’at, tanggal 31 Mei 2013, kami menyusun laporan ini sebagai bahan untuk
sedikit mengetahui apa yang ada di Museum Ronggowarsito yang berkaitan dengan
“Sejarah Perjuangan Nusantara”. Semoga laporan ini dapat membawa kita berkelana
ke masa lalu untuk mengenang jasa para pahlawan yang telah berjuang
mempertahankan kedaulatan bangsa.
II. RUMUSAN
MASALAH
A. Apa saja bentuk-bentuk perjuangan
bersenjata di Indonesia?
B. Apa saja bentuk-bentuk perundingan yang dilakukan
oleh rakyat Indonesia?
C. Apa saja
monumen-monumen yang didirikan untuk mengenang sejarah perjuangan rakyat
Indonesia?
III.
PEMBAHASAN
A.
Bentuk-bentuk Perjuangan Bersenjata
1.
Pertempuran Ambarawa, Tepatnya di Palagan Ambarawa Semarang
Pasukan sekutu mendarat di Semarang
pada tanggal 20 oktober 1945 di bawah pimpinan Brigadir Jenderal Bethel.
Kedatangan mereka bertujuan untuk mengurus para tawanan dan melucuti tentara
Jepang yang ada di Jawa Tengah. Mereka juga berjanji tidak mengganggu kedaulatan
RI.
Pada awalnya
kedatangan pasukan sekutu tersebut disambut dengan baik oleh rakyat Indonesia.
Tetapi te nyata NICA memboncengi sekutu dan memboncengi sekutu dan bermaksud
mengambil alih beberapa kota di Jawa Tengah, seperti Semarang, Ambarawa,
Magelang. Hal ini yang memicu meletusnya pertempuran antara Tentara Keamanan
Rakyat (TKR) menghadapi perlawanan tentara sekutu pada tanggal 26 Oktober 1945.
Pertempuran
Ambarawa berlangsung dari tanggal 20 November 1945 sampai dengan tanggal 15
Desember 1945. Mayor Soemarto memimpin pasukan TKR menghadapi gempuran pasukan
sekutu. Pada tanggal 22 November 1945 pasukan sekutu mengebom kampung-kampung
di sekitar Ambarawa. Dalam pertempuran yang terjadi pada tanggal 26 November
1945, letnal Kolonel Isdiman, pimpinan TKR yang berasal dari Purwokerto gugur.
Sejak saat itulah Kolonel Soedirman, Panglima Divisi di Purwokerto, mengambil
alih pimpinan pasukan. Di bawah pimpinan Kolonel Soedirman, pada tanggal 15
Desember 1945, pasukan kita berhasil memukul mundur pasukan sekutu hingga ke
Semarang.
Sejak saat
itulah nama Kolonel Soedirman semakin terkenal. Keberhailannya memukul mundur
pasukan sekutu membuktikan bahwa TKR memiliki siasat tempur yang hebat. Untuk
memperingati pertempuran Ambarawa tersebut, setiap tanggal 15 Desember
diperingati sebagai Hari Infanteri. Selain itu di kota Ambarawa didirikan
monumen yang diberi nama Palagan Ambarawa.
2.
Pertempuran Lima Hari di Semarang pada tanggal 14-19 Oktober 1945.
Pada tanggal 14-19 oktober 1945 di
Semarang pecah pertempuran antara para
pemuda Semarang dengan tentara Jepang. Pertempuran ini berlangsung selama lima
hari sehingga terkenal sebagai peristiwa Pertempuran Lima Hari di Semarang.
Peristiwa ini bermula dari tersiarnya kabar bahwa Jepang telah meracuni
cadangan air minum di Candi Semarang. Dokter Kariadi selaku kepala laboratorium
pusat Rumah Sakit Rakyat memberanikan diri untuk memeriksa air minum tersebut.
Akan tetepi, ketika dr. Kariadi sedang melakukan pemeriksaan, Jepang
menembaknya sehingga ia gugur. Peristiwa ini membuat para Pemuda Semarang marah
sehingga mereka serempak menyerbu tentara Jepang. Dalam pertempuran ini kurang
lebih 2000 pemuda kita gugur sebagai kusuma bangsa, sementara di pihak Jepang
100 serdadu tewas.[1]
3.
Jenderal Soedirman bergerilya, pada tanggal 19 Desember 1948 - 10
Juli 1949
Perang Geriliya merupakan bentuk peperangan
yang tidak terikat secara resmi kepada ketentuan perang. Ciri-ciri perang
Geriliya yang pernah dilakukan oleh bangsa Indonesia, antara lain :
a.
Menghindari perang terbuka
b.
Menghantam musuh secara tiba-tiba
c.
Menghilang ditengah lebatnya hutan
d.
Kadang dilakukan pada malam hari
e.
Menyamar sebagai rakyat biasa
Peraang gerilya yang dilakukan antara lain :
a.
Perang gerilya menghadapi agresi militer Belanda I
Dengan sistem perang
gerilya, TNI membangun kubu-kubu pertahanan di kawasan luar kota dan
pegunungan. Masing-masing kubu pertahanan memiliki pemerintahan gerilya yang
totaldan dinamis. tujuannya adalahmenghambatgerak laju musuh, sekaligus dapat
mengadakan pengungsian dan bumi hangus total apabila musuh terus mendesak.
Sistem perang gerilya juga dipertajam dengan
mengadakan strategi penyusupan kegaris belakang musuh. Setelah menyusup, TNI
akan membentuk kubu pertahanan diwilayah musuh. Akibatnya medang perang gerilya
akan menjadi semakin luas. Untuk penyusupan ini TNI memerintahkan Divisi
Siliwangi untuk melakukan “Long March”
ke Jawa Barat.
b.
Perang gerilya menghadapi
agresi militer Belanda II
Sistem gerilya kembali di terapkan saat
Belanda melancarkan agresi militer II. Ketika
presiden, wapres dan beberapa pembesar RI lainnya ditawan Belanda , Panglima
Besar Jendral Sudirman masih terus melakukan perlawanan terhadap Belanda dengan
cara Gerilya. Tentara dan rakyat bekerja sama demi perjuangan nasional.
Gerilyawan menggunakan taktik bumi hangus dengan cara membakar dan
menghancurkan bangunan penting guna menghalangi pasukan Belanda. Saat itu
daerah dalam kota di kuasai Belanda, sedangkan daerah luar kota dikuasai oleh
Gerilyawan.
c.
Perang gerilya pada saat serangan umum 1 Maret 1949
Puncak serangan gerilya kita adalah
serangan umum atas kota Yogayakarta yang waktu iti di duduki Belanda. Dalam
serangan yang di lancarkan pada tanggal 1 Maret 1949 pasukan kita berhasil
memporak porandakan kekuatan Belanda. Yogyakarta dapat kita rebut dan kita
duduki selama enam jam. Hasil serangan atas kota Yogyakarta disiarkan ke luar
negeri melalui radio gerliya di Wonosari
Serangan umum 1 maret 1949 dilakukan oleh
pasukan TNI dari Brigade 10/wehr kreise 111 Yogyakarta dibawah pimpinan
Letkol Soeharto. Keberhasilan serangan umum ini amat ditentukan oleh peran Sri
Sultan Hamengku Buwono 1X yang memungkinkan kesatuan TNI menyusup kedalam kota
Yogyakarta.
Serangan umum 1 Maret 1949 mempunyai arti
dan pengaruh yang sangat besar, antara lain:
1)
Berhasil memuliahkan kepercayaan rakyat terhadap
pemerintah RI dan TNI .
2)
Mempertebal semangat pasukan TNI lainnya yag sedang
bergerilya.
3)
Memberi kekuatan bagi perjuangan yang ditempuh
pemerintah melalui diplomasi.
4)
Menunjukkan kepada dunia internasional bahwa TNI masih utuh dan kuat.
4.
G 30 S/PKI
Pemerintah Indonesia
melakukan upaya penumpasan G 30 S/PKI dimulai tanggal 1 Oktober 1965. Oleh
karena negara dalam keadaan gawat, Panglima Kostrad Mayjen Soeharto segera
mengambilalih pimpinan Angkatan Darat dan melakukan koordinasi penumpasan G 30
S/PKI.
Pada tanggal 2 Oktober
1965, operasi penumpasan di arahkan ke pangkalan Halim Perdana Kusuma yang
merupakan basis utama PKI. Pangkalan tersebut akhirnya berhasil dikuasai oleh
pasukan RPKAD dan Batalyon 328 dalam waktu singkat. Operasi penumpasan selanjutnya
berhasil menguasai daerah Lubang Buaya dan sekitarnya yang menjadi pusat
latihan Pemuda Rakyat dan Gerwani. Dengan dikuasainya kembali kota Jakarta,
usaha perebutan yang dilakukan yang dilakukan oleh G 30 S/PKI dapat digagalkan.
Operasi penumpasan G 30 S/PKI
juga dilakukan di daerah, antara lain operasi penumpasan G 30 S/PKI di Jawa
Tengah dan Yogyakarta yang dipimpin oleh Pangdam VII/Diponegoro Brigjen
Suryosumpeno. Hal tersebut dilakukan karena G 30 S/PKI telah melakukan
pemberontakan di Yogyakarta yang telah menculik dan membunuh Kolonel Katamso
dan Letkol Sugiyono.[3]
5.
Pemberontakan DI/TII
Gerakan DI/TII di daerah
Brebes, Tegal, dan Pekalongan dipimpin oleh Amir Fatah yang didirikan pada
tanggal 23 Agustus 1949 dengan tujuan mendirikan Negara Islam Indonesia yang
bergabung dengan DI/TII di Jawa Barat. Sementara itu di darah Kebumen juga
muncul gerakan yang bernama Angkatan Umat Islam yang dipimpin oleh Kyai
Somalangu. Untuk menukpas gerakan DI/TII di Jawa Tengah, pemerintah Indonesia
melancarkan operasi militer Gerakan Banteng Negara dengan pasukannya yang
bernama Banteng Raiders yang pada akhirnya berhasil menghancurkan gerakan
DI/TII di Jawa Tengah.[4]
6.
Gerakan Tritura di Solo, pada bulan Januari 1966.
Usaha penumpasan G 30 S/PKI
menunjukkan hasil yang memuaskan, kerjasama
ABRI dan rakyat telah berhasil melumpuhkan PKI. Akan tatapi secara
politik PKI masih ada sebab PKI masih berdiri sebagai organisasi politik. Hal
ini disebabkan Presiden Soekarno belum mengambil tindakan tegas untuk
membubarkan PKI meskipun rakyat menghendaki presiden bertindak tegas terhadap
PKI.
Dalam upaya menggalang
massa menuntut pertanggungjawaban PKI, para mahasiswa membentuk organisasi Kesatuan
Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) tanggal 25 Oktober 1965. Pada tanggal 12
Januari 1966 kesatuan-kesatuan aksi yang tergabung dalam front Pancasila
mendatangi DPRGR dan mengajukan tiga tuntutan yang terkenal dengan Tri Tuntutan
Rakyat.
Isi Tritura adalah :
a.
Bubarkan PKI.
b.
Bersihakan Kabinet Dwikora
dari unsur-unsur G 30 S/PKI.
c.
Turunkan harga.[5]
B.
Bentuk-bentuk Perjuangan Melalui Jalur Perundingan
1.
Perundingan antara Indonesia dan Belanda dengan ketua dari Inggris
Loro Rillearen di Jakarta pada tanggal 7 Oktober 1946.
2.
Perundingan dan pendatanganan naskah persetujuan Linggarjati di
Istana Riswijk (sekarang Istana Merdeka) pada tanggal 25 Maret 1947. Tugu batas
status Quo menurut hasil perundingan Renville pada tanggal 8 Desember
1947 di Desa Karang Anyar Banjarnegara.
Kedatangan pasukan sekutu yang diboncengi oleh NICA ternyata
mendapat perlawanan yang hebat dari rakyat Indonesia. Perlawanan yang gigih
dari rakyat Indonesia tersebut mendorong Inggris untuk mengambil kesimpulan
bahwa sengketa antara Indonesia dan Belanda tidak mungkin diselesaikan dengan
perang. Untuk itulah Inggris berusaha mempertemukan antara pihak Indonesia
dengan pihak Belanda untuk duduk bersama di meja perundingan.
Setelah melakukan beberapa kali pertemuan, akhirnya pada tanggal 10
November 1946 dilakukan perundingan antara pihak Indonesia dan Belanda.
Perundingan tersebut berlangsung di daerah yang berada di Kabupaten Kuningan,
sebelah selatan Kabupaten Cirebon. Dalam perundingan tersebut, delegasi
Indonesia dipimpin oleh Pedana Menteri Sutan Sahrir, sedangkan Belanda dipimpin
oleh Van Mook. Adapun isi perundingan Linggarjati adalah sebagai berikut:
a)
Belanda mengakui kekuasaan Republik Indonesia atas Jawa, Madura,
Sumatera
b)
Pemerintah Republik Indonesia dan Belanda bersama-sama membentuk
negara pederasi bernama Negara Indonesia Serikat yang terdiri atas : Negara
Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur, dan Kalimantan, dan
c)
Negara Indonesia Serikat dan Belanda merupakan suatu uni yang
dinamakan Uni Indonesia-Belanda yang yang diketahui oleh ratu Belanda.
Atas dukungan komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pemerintah
Republik Indonesia menyetujui isi Perjanjian Linggarjati. Akhirnya pada tanggal
25 Maret 1947, secara resmi dilakukan pendatanganan isi Perjanjian Linggarjati
oleh pemerintah Republik Indonesia dan Belanda.
3.
Perundingan di atas kapal Renville di teluk Jakarta pada tanggal 8
Desember 1947.
Komisi konsuler diperkuat pula oleh personil militer Amerika
Serikat dan Perancis yang bertindak sebagai peninjau militer. Mereka melaporkan
kepada Dewan Keamanan PBB bahwa tanggal 30 Juli 1947-4 Agustus 1947 pasukan
Belanda masih mengadakan gerakan militer. Akhirnya pihak Amerika Serikat
mengusulkan agar dibentuk sebuah komisi jasa baik. Indonesia dan Belanda diberi
kesempatan untuk menunjuk satu negara sebagai wakil untuk menjadi anggota
komisi.
Pemerintah Indonesia memilih Australia, sedangkan Belanda memilih
Belgia. Selanjutnya kedua negara yang terpilih tersebut memilih
Amerika Serikat sebagai penengah. Australia diwakili ole Richard Kirby, Belgia
diwakli oleh Paul van Zeeland, sedangkan Amerika Serikat diwakili leh Dr.Frank
Graham. Komisi PBB yang terdiri dari tiga negara ini akhirnya lebih dikenal
dengan sebutan Komisi Tiga Negara (KTN).
KTN mulai bekerja di Indonesia pada bulan Oktober 1947. Setelah
mengadakan pendekatan dengan pihak Indonesia dan Belanda, akhirnya disetujui
untuk mengadakan perundingan. Perundingan tersebut dilaksanakan di atas geladak
kapal USS Renville sejak 8 Desember 1947. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Mr.
Amir Syarifuddi hdan Mr. Ali
Sastroamijoyo. Sedangkan delegasi Belanda dipimpin oleh R. Abdul Kadir
Wijoyoatmojo dan Mr. H.A.L Van Vredenburg. Adapun hasil perjanjian Renville adalah:
a)
Belanda hanya mengakui daerah Republik Indonesia atas Jawa Tengah,
Yogyakarta, sebagian kecil Jawa Barat, dan Sumatera, dan
b)
Tentara Republik Indonesia harus ditarik mundur daerah-daerah yang
telah diduduki Belanda.
Akhirnya hasil perjanjian Renville ditanda tangani oleh pihak
Republik Indonesia dan Belanda pada tanggal 17 Januari 1948 di atas geledak
kapal USS Renville. [6]
4.
Perundingan antar KTN dengan RI di Kaliurang pada tanggal 3 Januari
1948.
Agresi Militer Belanda yang pertama ini menimbulkan reaksi yang
keras dari dunia internasional, antara lain dari India dan Australia. Kedua
negara tersebut mendesak agar masalah ini dibahas dalam Dewan Keamanan PBB, PBB
kemudian membentuk Komisi Tiga Negara (KTN) untuk menyelesaikan sengketa
Indonesia-Belanda secara damai. KTN terdiri atas Australia (pilihan Indonesia)
yang diwakili Richard Kirby, Belgia (pilihan Belanda) yang diwakili Paul van
Zeeland, dan Amerika Serikat (pilihan Australia dan Belgia) yang diwakili Frank
Graham.
Pada tanggal 27 Oktober 1947 KTN tiba di Jakarta untuk memulai
tugasnya dengan melakukan pendekatan-pendekatan terhadap Indonesia dan Belanda.
Keberhasilan ini terwujud dengan diselenggarakannya perundingan Renvile antara
Indonesia dan Belanda tanggal 8 Desember 1947-17 Januari 1948. Perundingan
Renvile ini menandai berakhirnya Agresi Militer Belanda I.[7]
5.
Penyerahan anggota TKR yang ditawan Belanda kepada RI di daerah
Jawa Timur pada bulan Juni 1946.
C. Monumen-monumen Yang Didirikan Untuk Mengenang Perjuangan Rakyat
Indonesia dalam Mempertahankan Kedaulatan Bangsa
1.
Monumen penyerahan bendera Parajamya Purnakarya Nugraha dari
presiden Soeharto kepada gubernur Jawa Tengah Soepardjo Roestam 1980.s
2.
Monumen perjuangan , Ds. Jangkungan, kec. Salatiga, kab. Salatiga.
3.
Monumen perjuangan, Ds. Gubug, Gubug, Grobogan.
4.
Monumen Tugu Muda, Ds. Bulu Lor, Semarang Barat, Semarang
5.
Monumen perjuangan Lomanis, di
Lomanis, Cilacap, Cilacap.
6.
Monumen pencegahan Belanda di tepi Srayu daerah Banjarnegara.
7.
Monumen Palagan Ambarawa, di
Ambarawa
IV.
ANALISIS
Peeristiwa-peristiwa perjuangan yang digambarkan dalam Museum
Ronggowarsito mayoritas adalah peristiwa-peristiwa yang terjadi di Jawa Tengah.
Hal ini mungkin bisa dimaklumi, karena Museum Ronggowarsito memang didirikan di
Semarang, Jawa Tengah, sehingga seluk-beluk tentang Jawa Tengah lebih banyak
tergambarkan dalam koleksi-koleksi di Museum Ronggowarsito ini.
Dalam peristiwa-peristiwa tersebut, dapat kita ketahui walaupun
Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia sudah dikumandangkan oleh Presiden
Soekarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945, rakyat
Indonesia masih belum sepenuhnya merasakan kemerdekaan yang sesungguhnya. Hal
tersebut dapat dibuktikan dengan datangnya Belanda dan sekutunya ke tanah Ibu
Pertiwi dan mengadakan agresi militer untuk kembali menguasai tanah Nusantara
yang kaya akan sumber daya alam. Rakyat Indonesia yang tidak terima tanah
airnya kembali diinjak-injak oleh para penjajah melakukan perlawanan dengan
mengadakan perlawanan-perlawanan di berbagai daerah, termasuk daerah-daerah di
Jawa Tengah, seperti Semarang dan Ambarawa.
Tidak hanya lewat perjuangan bersenjata, Indonesia juga
mengupayakan perjuangan lewat jalur diplomasi. Beberapa perundingan diadakan
demi mempertahankan kedaulatan Indonesia, namun hasilnya banyak yang lebih
merugikan Indonesia.
Sebenarnya, bila kita lihat di era sekarang ini, Indonesia jug
masih belum bisa dikatakan sebagai sebuah negara yang “benar-benar” merdeka.
Walaupun tidak seganas dan segarang penjajah di masa lalu, kita dapat merasakan
bagaimana aset-aset penting negara kita dikuasai bangsa-bangsa asing. Perlahan
tapi pasti, Indonesia “kehilangan” sumber daya alamnya sendiri karena “dibodohi”
oleh bangsa-bangsa asing.
Salah satu contoh nyata adalah tergerusnya budaya Jawa oleh budaya
kebarat-baratan yang dianggap lebih modern, keren, dan gaul. Padahal, dapat
kita lihat sendiri, mayoritas buadaya barat tidak cocok dengan kepribadian
masyarakat Jawa sesungguhnya, bahkan bagi orang Jawa, budaya mereka cenderung
“tidak memiliki moral”. Sebagai orang Jawa, tentu kita juga harus melakukan
perlawanan terhadap penjajahan budaya tersebut layaknya rakyat Indonesia dahulu
yang mengusir para penjajah demi mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia.
Tentu untuk melawannya bukan dengan cara seperti yang dilakukan oleh para
pendahulu kita dengan berperang angkat senjata dan melkukan
perundingan-perundingan. Yang perlu kita lakukan untuk tetap mempertahankan
“kedaulatan” budaya Jawa di tanah Jawa tentu dimulai dari pribadi
masing-masing. Kita haus mulai sadar kita memiliki budaya yang penuh akan
filosofi dan patut untuk dijadikan sebagai pedoman hidup sehari-hari. Apa yang
kita dapatkan dari budaya-budaya barat belum tentu cocok untuk kita dan
lingkungan kita, bahkan cenderung merusak moral kita yang telah susah payah
dibentuk oleh leluhur-leluhur kita. Semua tergantung dari kita sendiri. Jika
para pendahulu kita bisa mempertahankan kedaulatan NKRI yang pernah diacak-acak
oleh para penjajah, mengapa kita tidak bisa mempertahankan “kedaulatan” budaya
kita di tanah kita sendiri dari “penjajahan” yang tidak sekejam dan seganas
penjajahan di masa lalu?
V.
KESIMPULAN
Setelah Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada
tanggal 17 Agustus 1945, rakyat Indonesia masih belum dapat menikmati
kemerdekaan yang hakiki. Banyak agresi-agresi dan pemberontakan yang terjadi dn
hampir menggoyahkan kedaulatan NKRI. Namun, dengan gagah berani rakyat
Indonesia yang tidak mau merasakan ketertindasan untuk kesekian kalinya
melakukan perlawanan-perlawanan agar benar-benar dapat merasakan apa yang
namanya kemerdekaan. Perlawanan-perlawanan tersebut dilakukan melalui dua jalur,
yaitu jalur perang dan jalur diplomasi.
Untuk mengenang jasa-jasa rakyat Indonesia di masa lalu yang telah
berjuang mempertahankan kedaulatan NKRI, pemerintah Indonesia mendirikan
beberapa monumen perjuangan di beberapa daerah. Monumen-monumen tersebut,
diantaranya seperti Monumen Palagan Ambarawa dan Tugu Muda, di Jawa Tengah.
VI.
PENUTUP
Demikianlah laporan
ini kami buat, semoga dapat memberi manfaat pada penyusun khususnya dan bagi
pembaca pada umunya. Kami sadari bahwa pembuatan laporan ini masih jauh dari
kata sempurna dan mengandung banyak kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan
saran yang membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaan laporan-laporan kami
selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Arif, Muh., Ilmu
Pengetahuan Sosial, Jakarta : Depag RI, 2009.
Basuki, Rahmad,
Ilmu Pengetahuan Sosial Terpadu, Jakarta : Erlangga, 2008.
Haryuni, Dwi,
dkk, Ilmu Pengetahuan Sosial, Solo : Fokus CV. Sindunata, 2011.
Riyanti, Emi,
dkk, LKS Ilmu Pengetahuan Sosial dan Sejarah Semester 1, Surakarta :
Teguh Karya, 2009.
Riyanti, Emi, dkk, LKS Ilmu Pengetahuan Sosial dan Sejarah
Semester 2, Surakarta : Teguh Karya, 2009.
[1] Dwi Haryuni,
dkk, Ilmu Pengetahuan Sosial, Solo : Fokus CV. Sindunata, 2011, hlm.
38-40.
[2] Rahmad Basuki,
Ilmu Pengetahuan Sosial Terpadu, Jakarta : Erlangga, 2008, hlm. 53-56.
[3] Emi Riyanti,
dkk, LKS Ilmu Pengetahuan Sosial dan Sejarah Semester 2, Surakarta :
Teguh Karya, 2009, hlm. 22.
[4] Emi Riyanti,
dkk, LKS Ilmu Pengetahuan Sosial dan Sejarah Semester 2, Surakarta :
Teguh Karya, 2009, hlm. 17.
[5] Emi Riyanti,
dkk, LKS Ilmu Pengetahuan Sosial dan Sejarah Semester 2, Surakarta :
Teguh Karya, 2009, hlm. 29.
[6] Muh. Arif, Ilmu
Pengetahuan Sosial, Jakarta : Depag RI, 2009, hlm. 226-231.
[7] Emi Riyanti,
dkk, LKS Ilmu Pengetahuan Sosial dan Sejarah Semester 1, Surakarta :
Teguh Karya, 2009, hlm. 24.
Komentar
Posting Komentar