Pandangan Dunia Jawa
MAKALAH
PANDANGAN DUNIA JAWA
Dipresentasikan
dalam Mata Kuliah
Islam
dan Kebudayaan Jawa
Yang
diampu oleh : M. Rikza Chamami, MSI
Disusun
Oleh :
Firdha Naili
Fitriyani ( 123311017 )
Iftitahul
Hidayah ( 123311021
)
Min Khatul Maula ( 123311026 )
Muhammad Ali
Riza Sihbudi ( 123311029 )
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013
I.
PENDAHULUAN
Jawa memang sudah lekat dengan ragam tradisi unik
yang melingkupi kehidupan masyarakatnya. Bahkan, meski kini zaman sudah
berkembang dengan pesat, tradisi-tradisi yang melekat dalam kehidupan
masyarakat Jawa sejak zaman nenek moyang dahulu masih tetap dipertahankan. Tradisi-tradisi
masyarakat Jawa lekat dengan tradisi Hindu-Budha yang notabene pernah menjadi
agama yang paling banyak dipeluk oleh masyarakat Jawa kuno. Namun,
tradisi-tradisi tersebut sudah mengalami akulturasi seiring masuknya agama
Islam ke tanah Jawa. Hal tersebut dapat terjadi karena ajaran Islam telah
mengatur segala jenis sendi-sendi kehidupan manusia, sehingga tradisi-tradisi
Jawa warisan nenek moyang yang berbau syirik atau tidak sesuai dengan ajaran
Islam mengalami sedikit modifikasi.
Selain tradisi yang unik, masyarakat Jawa juga
mempunyai kepercayaan dan pandangan hidupnya sendiri. Kepercayaan dan pandangan
hidup orang Jawa ini terkadang juga masih lekat dengan kepercayaan dan
pandangan hidup nenek moyang mereka
dahulu yang berbau agama Hindu-Budha. Misalnya, banyak masyarakat yang
mempercayai bahwa penguasa pantai selatan Jawa adalah Nyai Roro Kidul.
Masyarakat Jawa juga lekat dengan kepercayaannya terhadap hal-hal yang berbau
mitos dan mistisme. Seperti halnya percaya bahwa ada kekuatan ghaib di dalam
sebuah keris.
Dalam hal pandangan hidup, masyarakat Jawa juga
memiliki pedoman sendiri. Masyarakat Jawa sangat mudah percaya dengan
nasehat-nasehat orang-orang terdahulu. Orang Jawa sejak dahulu kala telah
mewariskan ajaran-ajaran luhur untuk pembinaan budi pekerti. Para Raja,
bangsawan dan rakyat jelata, telah menjadikan ajaran-ajaran itu sebagai pedoman
hidup sehari-hari. Bahkan, orang Jawa yang tetap berpegang teguh terhadap
pedoman-pedoman tersebut ada yang menjadi tokoh penting di Indonesia, yaitu
mantan presiden Republik Indonesia yang kedua, Soeharto.
Dengan segala keunikannya, masyarakat Jawa tumbuh
dan berkembang mengikuti arus perkembangan zaman tanpa meninggalkan tradisi dan
pedoman hidup yang telah diwariskan oleh nenek moyangnya dahulu. Untuk
mengetahui lebih dalam tentang pandangan masyarakat Jawa dalam mengarungi
kehidupan sehari-hari mereka, kami mencoba menyusun sebuah makalah dengan judul
“Pandangan Dunia Jawa”. Sedikit banyak kami mencoba menyinggung tentang tradisi,
kepercayaan, dan pandangan hidup masyarakat Jawa dalam kehidupan sehari-hari
mereka.
II.
RUMUSAN
MASALAH
A.
Apa saja tradisi masyarakat Jawa?
B.
Apa kepercayaan masyarakat Jawa?
C.
Apa saja etika-etika masyarakat Jawa dalam kehidupan sehari-hari?
D.
Bagaimana pandangan hidup masyarakat Jawa?
III.
PEMBAHASAN
A.
Tradisi
Masyarakat Jawa
Menurut kamus bahasa Indonesia, kata tradisi berarti
adat kebiasaan yang turun temurun.[1]
Macam-Macam
Tradisi Jawa :
1.
Bentuk Selametan /
Sedekah
Kata
‘sedekah’ dengan istilah lain ‘sodaqoh’ yang bermakna berderma atau memberikan sesuatu (biasanya berupa barang)
kepada pihak lain karena tendensi kemanusiaan, seperti iba, peduli, atau agar
tercipta keakraban antar sesama.
a.
Sedekah bumi
Sedekah bumi merupakan aktivitas
budaya yang dilaksanakan masyarakat (khususnya masyarakat pedesaan) yang
dilaksanakan setahun sekali atau setiap terjadi peristiwa yang tidak
menyamankan kehidupan sosialnya. Sepeti musibah berupa penyakit yang diderita
warga atau wabah hama tanaman. Munculnya kata ’bumi’ diidentikkan dengan
pelaksanaan ritual budaya yang bernuansa agamis karena mensyukuri anugerah
Ilahi yang bersumber dari hasil bumi, aktivitas yang bergantung keramahan bumi
(alam) atau panen hasil peternakan. Seperti pascapanen tanaman atau menjelang
panen. Sedekah bumi dilaksanakan masyarakat yang berpenghasilan sebagai petani,
petani dan pelaut, petambak, dan petambak yang juga petani.
b.
Sedekah laut
Sedekah laut identik dengan
aktifitas budaya yang dilakukan warga masyarakat yang berpenghasilan dan atau
berprofesi sebagai pelaut. Lazimnya pelaksanaan sedekah laut menjelang musim
panen laut (berdasarkan prediksi pelaut) atau pascapanen hasil laut. Ada juga
sedekah laut disertakan bersama peringatan wafatnya tokoh desa atau tetua adat
desa. Munculnya pelaksanaan sedekah laut dengan pertimbangan, pertama, ungkapan
syukur kepada Tuhan yang menganugerahi sumber kehidupan dari laut. Kedua,
permisi (ungkapan izin) sebagai bentuk interaksi dengan sesama penghuni laut
agar tercipata keselamatan selama mengais rizki di laut agar tidak diusik
kenyamanannya. Penunggu laut dalam konteks ini diyakini oleh pelaut bahwa
hamparan laut tidak hanya dihuni pelaut dalam mengais rizki, tetapi juga dihuni
makhlus halus. Agar interaksi antara pelaut dengan penghuni lainnya tercipta
interaksi (yang tidak kasat mata) secara harmonis, maka sedekah laut dijadikan
mediasi (perantara) keakraban secara psikis dan tidak langsung antara penguasa
laut (Tuhan), penghuni laut (makhluk gaib), komunitas laut (makhluk alam laut),
dan pengais rizki dari laut (nelayan).
Adapun pernik-pernik yang
disertakan dalam prosesi larung sesaji diantaranya adalah kepala kerbau yang
menyimbolkan keperkasaan (kepala) dan ‘dihadiahkan’ kepada ‘penghuni’ laut
sebagai bentuk interaksi simbolik.
2.
Selametan siklus
kehidupan
Selametan siklus kehidupan meliputi
kelahiran bayi, pasca kelahiran bayi berupa mengubur ari-ari atau tali pusat
(placenta), kematian, fase kehidupan bayi (penguburan
ari-ari/placenta),menindik telinga dan pasang anting-anting anak perempuan, dan
perkawinan.[2]
a.
Ngapati (Ngupati)
Saat janin (embrio) berusia 120
hari (atau 4 bulan) dimulailah kehidupan dengan ruh, dan saat inilah ditentukan
bagaimana ia berkehidupan selanjutnya, di dunia sampai di akhirat : “Ditentukan
rezekinya, ajalnya, langkah-langkah prilakunya, dan sebagai orang yang celaka
atau orang yang beruntung”.
Maka menyongsong penentuan ini,
hendaklah diadakan upacara ngapati (ngupati) yaitu berdoa
(sebagai sikap bersyukur, ketundukan dan kepasrahan); mengajukan permohonan
kepada Allah agar nanti anak lahir sebagai manusia yang utuh sempurna, yang
sehat, yang dianugerahi rizki yang baik dan lapang, berumur panjang yang penuh
dengan nilai-nilai ibadah, beruntung di dunia dan di akhirat. Begitu pula
hendaklah bersedekah. Kita ketahui bahwa doa dan sedekah adalah dua kekuatan
yang bisa menembus takdir.
b.
Mitoni (Tingkepan)
Setelah kehamilan berusia sekitar 7
(tujuh) bulan, yaitu ketika kandungan dirasakan sudah berbobot dan berbeban,
maka diadakan lagi upacara yang biasa disebut mitoni atau
tingkepan. Dalam upacara mitoni (tingkepan) ini disamping bersedekah
juga diisi pembacaan doa, dengan harapan si bayi dalam kandungan diberikan
keselamatan serta ditakdirkan selalu dalam kebaikan kelak di dunia.[3]
c.
Menindik telinga dan
pasang anting anak perempuan
Menindik
telinga dan memberi anting bagi anak perempuan pada usia bayi (balita) menjadi
tradisi universal. Penentuan usia bayi ditindik tidak sama setiap individu atau
daerah, biasanya disertakan ketika prosesi potong puser (puputan) dengan tujuan
membedakan identitas asesoris bahwa perempuan identik dengan asesoris tertentu,
jika asesoris tertentu tersebut dikenakan pada laki-laki maka dianggap
menyimpang tradisi.
Prosesi
menindik dan beranting ini merupakan aktifitas penyimbolan menuju fase sebagai
anak yang beridentitas jenis kelamin tertentu secara utuh dan diliputi budaya
bancaan dengan sedekah kepada tetangga dalam jumlah kecil berupa kudapan atau
makanan. Tradisi menindik diilhami nadzar Nabi Ibrahim As ketika beristri Siti
Saroh tidak dikaruniai anak. Nabi Ibrahim menikah kedua dengan Siti Hajar dan
bernadzar, jika dikaruniai anak laki-laki akan dijadikan kurban dan jika
dikaruniai anak perempuan akan menindik kedua telinga, memotong ari-ari, dan
mengkhitannya. Akhirnya lahirlah Ismail As dan dikurbankan, oleh Allah Nabi
Ismail digantikan dengan domba dari surga.
Prosesi
menindik menggunakan alat tradisional dan perangkat modern, seperti jarum jahit
(untuk melubangi), minyak alkohol (mempermudah tembusnya pelubangan), benang
(menduduki posisi anting sementara sebelum anting dipermanenkan di telinga),
kunir dan bawang merah (langkah awal menetralisir agar tidak terjadi infeksi).
d.
Tedhak siten
Tedhak
siten, dhun-dhunan, mudhun lemah adalah upacara
penghormatan kepada bayi menuju fase kehidupannya berupa menginjakkan kaki
pertama sebelum jalan (menapak) secara sempurna. Tedhak bermakna dekat
dan siten sinonim dengan kata dari bahasa Jawa ‘siti’ yang
bermakna tanah. Prosesi awal dalam meraih fase hidup tersebut, oleh orang tua
dan keluarganya disongsong dengan doa.
3.
Selametan perkawinan
Termasuk
selametan perkawinan dalan tradisi Jawa adalah perkawinan punjen. Kata ‘punjen’
bermakna terakhir atau dipanggul yakni sebagai bentuk ungkapan yang menyatakan
tanggungjawab pada anak terakhir (bungsu) oleh orang tua berupa menikahkan atau
strategi mengumpulkan anak yang telah dinikahkan (berkeluarga) oleh orang
tuanya agar ikut menyaksikan perkawinan saudara mudanya. Perkawinan punjen atau
tumplak punjen (tumpah), maksudnya menghadirkan keluarga yang
tumpah-ruahndalam prosesi perkawinan, pungkasan, terakhir adalah
perkawinan yang ditradisikan secara khas karena yang dinikahkan adalah anak
terakhir (laki-laki atau perempuan).
Perkawinan
ini dalam pelaksanaan budaya terdapat perbedaan dengan perkawinan lazimnya yang
non-punjen berupa prosesi yang dilaksanakan pasca ijab nikah berupa
pertama-tama kedua orang tua si bungsu ke pelaminan, diikuti anak beserta
keluarganya, dibentuklah setengah lingkaran yang dikitari seluruh anak dan
keluarganya diawali anak paling tua dst., orang tua membawa piranti berupa (i)
paso, (ii) tampah, (iii) pecut, (iv) sabit, (v) kendi,
(vi) bunga setaman, (vii) cincin, (viii) janur kuning, (ix) jajan pasar, (x)
kantong, dan (xi) cambuk yang dicambukkan (secara simbolis) kepada seluruh
anaknya, petuah orang tua kepada seluruh anak, acara sungkeman seluruh anak
kepada orang tua, dan anak bungsu kepada kakak-kakaknya secara berurutan,
diakhiri dengan doa dan slametan.
4.
Selametan ulang tahun
kematian tokoh
Selametan
kematian tokoh agama (khaul) seperti khaul Sunan Kudus, Sunan
Muria, Kyai Mutamakkin Pati, Pangeran Puger, dan lainnya yang perlu digali
ulang oleh kita.
5.
Peringatan hari besar
agama
6.
Simbol penghormatan
leluhur
a.
Pari joto
Mitos pari joto berkaitan
dengan kiprah Sunan Muria yang berperang melawan Dampoawang berasal dari China
membawa perahu (sampan)atau kaal berisi bahan obat dan rempah-rempah. Karena
pertempuran tersebut, kapal tenggelam dan dimenangkan Sunan Muria.
Penamaam ‘pari joto’ menurut
sejarah lisan, dinamakan oleh Sunan Muria, ketika istrinya mengandung dalam
usia 4 bulan (akhirnya melahirkan putri diberi nama Dewi Nawangsih), nyidam/ngidam
untuk dijadikan rujak karena terasa asam-pahit (Jawa ; sepet) dan
bertepatan ketika Sunan Muria mengarang tembang Kinanthi Pari Joto,sekarang
hanya dikenal tembang Kinanthi. Nama tersebut diabadikan oleh pedagang
asongan yang berada di seputar wisata Gunung Muria dan makam Sunan Muria. Sunan
Muria mengutus santrinya untuk mencarikan obat penghilang mual dan ditemukan
bunga atau buah yang diabadikan hingga sekarang dengan nama Parijoto.
Jika diurai dari segi penanaman, dari dua kata yakni ‘Pari’ dan ‘Joto’
karena bunga tersebut menyerupai pari/padi dan ‘joto’ merupakan
simplifikasi dari kata nyoto/nyata (khasiatnya).
b.
Kayu pakis haji
Pakis
haji merupakan pohon yang dikategorikan berbiji terbuka dan termasuk marga cycas
dalam genus cycadeae. Pohon ini dimitoskan ketika masyarakat Desa Colo,
sekitar Gunung Muria, mendapat wabah serangan hama tikus di lahan
persawahannya. Oleh Sunan Muria, pohon tersebut dijadikan media pengusir tikus.
Jika dirasionalkan, potongan pohon tersebut jika memanjang bermotif menyerupai
ular welang (bermotif batik, kecoklatan), sehingga jika dirasionalkan dapat
menakut-nakuti tikus.[4]
B.
Kepercayaan
Masyarakat Jawa
Kepercayaan berasal dari kata percaya, yang berarti
yakin benar.[5] Dalam sejarah dunia Jawa,
dahulu dikenal istilah kebatinan sebagai istilah untuk menyebut kepercayaan.
Kronika atau rentetan historis kebatinan Jawa memang cukup panjang. Dapat
diduga, sejak di Jawa ada penghuni, mereka juga telah memiliki kebatinan. Hanya
saja dari waktu ke waktu, kebatinan Jawa dapat berubah aktivitasnya. Tegasnya,
perjalanan kebatinan Jawa telah lama mewarnai hidup orang Jawa.
Semula kebatinan memang diresapi sebagai paham kejawen.
Disebut kejawen karena nilai-nilai yang diyakini berasal dari kebatinan
asli orang Jawa. Melalui pendalaman batin, orang Jawa berusaha untuk menangkap
fenomena kehidupan. Pengalaman yang panjang itu tampaknya yang menempa
kebatinan Jawa semakin berkembang.
Aliran kebatinan atau sekarang lebih dikenal dengan
sebutan aliran kepercayaan, masih banyak pengikutnya. Bahkan akhir-akhir ini
telah berubah nama lagi menjadi penghayat kepercayaan. Menurut Suwardi
Endraswara, kebatinan dapat disebut juga sebagai sistem religi orang Jawa yang
telah tua umurnya. Sistem kepercayaan atau sistem spiritual yang ada di
Indonesia selain agama, aliran, faham, sekte, atau madzhab dari agama tersebut,
serta bukan pula termasuk kepercayaan adat. Nama kebatinan lebih dikenal pada
tahun 1950-an sampai 1960-an, muncul dalam berbagai bentuk gerakan atau
perguruan kebatinan.[6]
Di dalam dunia Jawa juga dikenal istilah kejawen.
Kejawen adalah suatu paham (isme). Menurut Suwardi Endraswara, kejawen
(Javaisme) merupakan sebuah tradisi yang hidup di Jawa dalam usia panjang.
Di dalamnya terdapat tradisi yang telah turun-temurun. Kejawen memuat
nilai-nilai peninggalan leluhur, yang ditaati dan kalau ditinggalkan ada
perasaan tidak enak. Kekayaan nilai kejawen tidak dapat diukur dari
dunia material, melainkan dari aspek spiritual.
Ada beberapa gagasan tentang kejawen.
Berbagai batasan kejawen, muaranya pada aspek nilai luhur, yang memuat
pandangan hidup orang Jawa. Hal ini sejalan dengan pernyataan Pranoto bahwa kejawen
adalah merupakan pandangan hidup dari orang Jawa yang sudah dimulai sejak
zaman dahulu kala. Menurut beberapa ahli dan para pakar menyatakan bahwa kejawen
sudah ada sejak ribuan tahun yang lalu, dalam isyarat alam yang dinyatakan
oleh Guru Ingkang Murbeng Dumadi melalui Panjenengan Dalem Kaki Semar.
Kaki Semar pernah menyatakan lewat wisik : Kejawen iki ana wiwit mbiyen
mula, nalikane wong nang Tanah Jawa isih sthithik lan sakdurunge wong manca
teka wis ana Kapercayan nalika Tanah Jawa isih gung liwang liwung yang
artinya kurang lebih adalah sebagai berikut bahwa Kejawen itu sudah ada
semenjak dulu, ketika orang Jawa masih sedikit dan sebelum orang-orang dari
luar datang, sudah ada Kepercayaan (kepada Tuhan Yang Maha Esa) ketika itu
tanah Jawa masih banyak hutan belantaranya. Konon Jawa masih bernama Jawawut
(nama tumbuhan sejenis padi), kejawen sudah tumbuh. Kejawen menjadi
suatu keyakinan yang diikuti oleh para pendukungnnya, terutama orang Jawa
dwipa, yang masih murni. Orang Jawa dwipa memiliki kejawen sebagai
pandangan hidup, untuk menentukan arah hidup yang lebih tenteram. Karena
merupakan suatu pandangan hidup dari suatu masyarakat makaa pada dasarnya kejawen
adalah sesuatu yang dapat dipelajari dan juga merupakan pengetahuan yang
dapat digali sumber asal muasalnya.
Menurut Pranoto kejawen itu bukan agama,
melainkan sebuah aturan (paugeran). Suwardi Endraswara juga sependapat
dengan hal ini, memang kejawen itu suatu paugeran dan nilai serta tradisi. Ada tiga
konsep paugeran kejawen, yaitu :
1.
Tentang hidup (urip), ada yang menghidupkan.
2.
Tidak menyakiti orang lain (tepa slira).
3.
Tidak memaksakan orang lain harus seperti dirinya.
Ketiga paugeran ini tampaknya bersendikan pada prinsip
hidup yang dapat menentramkan suasana, baik dirinya maupun orang lain.
Kejawen tidak sekedar kultur, melainkan lebih ke arah keyakinan. Sebenarnya, inti
kejawen pada ajaran kebatinan Jawa. Di dalamnya jelas sarat dengan
nilai-nilai agama Jawa. Maka mempelajari kejawen sama halnya juga
menyelami agama Jawa. Bahkan kalau mau terus terang sendi-sendi agama Jawa itu
tidak lain kejawen. Kejawen yang membentuk nuansa keagamaan Jawa menjadi
khas, karena selalu memperhatikan orang lain. Kejawen senantiasa mengukur
diri, sebelum mengukur orang lain.
Poros kejawen adalah mistik. Mistik merupakan
jalan lurus bagi agama Jawa. Keterkaitan antara kejawen, kebatinan¸
kepercayaan, mistik, dan agama Jawa tidak dapat dipisah-pisahkan. Bahkan
beberapa istilah itu sering tumpang tindih penggunaannya dalam masyarakat. Dari
pandangan Beatty yang cukup panjang lebar membahas kejawen sebagai salah
satu sisi agama Jawa, nampak jelas bahwa di dalamnya terdapat keunikan. Suwardi
Endraswara menyatakan bahwa kejawen sebagai ruh agama Jawa.[7]
C.
Etika
Orang Jawa
Sebuah pernyataan Mulder tentang pergeseran etika
Jawa memang cukup memprihatinkan. Dia yang secara kebetulan mempelajari kejawen,
sempat melontarkan tesis bahwa masyarakat Jawa terkosongkan dari kandungan
moral (emptied of moral content). Masyarakat Jawa yang telah masa yang
steril terhadap moral. Ini merupakan gejala malaise kebudayaan. Malaise
adalah kondisi yang tak enak atau gundah terhadap budaya.
Malaise budaya
(moral) berarti orang Jawa sedang ada proses pergeseran etika yang luar biasa.
Hal ini memang sulit dipungkiri, karena di Jawa sedang terjadi tawar menawar
budaya. Budaya lain baik yang mendukung maupun yang meracuni, tetap menggeser
sikap dan perilaku. Budaya konsumtitisme materialisme individualisme dan
isme-isme lain lain selalu menerjang kehidupan orang Jawa akibatnya etika Jawa
yang dulunya amat luhur mulai kehilangan nyalinya. Hal ini tak perlu ditangisi,
karena proses perubahan etika itu harus terjadi. Karenanya, tak mengherankan
jika kelak muncul etika Jawa yang asli dan juga etika Jawa tiruan (yang
terpengaruh).
Magnis Suseno memberi batasan, etika Jawa adalah keseluruhan norma dan
penilaian yang dipergunakan untuk mengetahui bagaimana mereka menjalankan
hidupnya. Kekhasan hidup Jawa adalah seperti dikemukakan dalam Serat
Wedhatama yakni suatu tindakan baru bernilai moral, kalau mendukung dan
menjamin keselarasan umum. Dengan kata lain etika Jawa lebih memperhatikan
dimensi kemanusiaan dan kesusilaan.
Kesusilaan adalah masalah nilai yang lekat dengan kodrat manusia.
a.
Etika bagi Wong Gedhe
Etika raja menggambarkan sikap dan perilaku raja sebagai penguasa. Raja
harus memiliki 8 sikap yang dikenal dengan istilah Asthabrata, yakni
watak delapan dewa. Watak delapan dewa ialah: (1) Endra. Menurunkan
keturunan, merata, (2) Yama, menghukum orang yang berdosa, (3) Surya,
berhati-hati, pelan-pelan, agar tidak mengalami kesulitan, (4) Candra,
baik jika dilihat, banyak tawa, manis, (5) Bayu, mengintai segala
perilaku, (6) Kuwera, bersikap asih, memberikan pakaian indah, tidak semena-mena, (7) Baruna, menghakimi
durjana, teliti dalam mengadili, (8) Brama, membakar yang tidak berbuat
baik. Etika lain bagi seorang raja, ialah bahwa seorang raja itu harus
mengetahui untung dan celaka atau nasib rakyatnya. Bila raja menjatuhkan
hukuman, maka hukuman harus sepadan dengan kesalahan dan tidak memandang
kedudukan terhukum.
Pihak atasan (wong gedhe) juga perlu mentaati etika, antara lain:
(a) selalu bersikap prihatin, (b) mengutamakan laku, (c) mencegah hawa
nafsu dengan bertapa, dan (d) selalu menyenangkan sesama hidup. Dari pesan ini
terkandung makna simbolik bahwa seorang pemimpin harus bisa menjadi suri
tauladan. Pimpinan harus ing ngrasa sung tuladha bagi
bawahan-bawahannya. Pesan filosofi yang termuat dalam penafsiran di atas adalah
bahwa pimpinan adalah badaling Hyang widhi. Pimpinan wajib
membudidayakan etika saling pengertian dengan bawahan, agar bot-repot negara
bisa diatasi. Ini semua akan terwujud jika terjadi Manunggaling Kawula Gusti.
b.
Etika bagi wong cilik
Alam kaitannya hubungan sosial antara bawahan (abdi) kepada raja
(wong gedhe), memilki etika khas. Jika bawahan berhasil menjalankan
etika termaksud akan mendapatkan kemuliaan hidup. Etika tersebut meliputi
bawahan harus menjalankan: (a) mengikuti wiradat (upaya sendiri),
mengikuti ombyaking kahanan (perkembangan zaman) atau situasi dan
kondisi, (b) rajin bekerja, (c) membantu menjaga kententraman negara, (d)
menjaga negara agar tidak rugi, (e) ikut menjaga negara jika dalam bahaya, (f)
jangan sampai ikhlas jika negara dirusak orang lain.
Seorang yang akan mengabdi, agar selamat sebaiknya : jangan mengikuti
kata-kata lama yang tidak baik, dengan teman jangan angkuh, jangan enggan
bekerja, jangan mudah sakit hati jika diperingati atasan dan jangan sampai
berbalik memarahi sesama teman. Calon abdi (termasuk calon apa saja) agar
dalam mencapai cita-cita dilandasi laku yaitu dengan sembah raga, cipta,
jiwa, dan rasa. Sembah raga adalah laku yang sering disebut sarengat,
dalam melaksanakan harus dengan jalan yang benar, dengan tingkatan-tingkatan
yang tepat, tekun dan ajeg. Sembah cipta adalah disebut dengan
tarekat, yaitu menyembah kapada Tuhan. Penyuciannya dengan membersihkan hati
dengan cara: tata (teratur), titi (teliti), ngati-ati
(berhati-hati), tetep (ajeg), telaten (rajin), dan atul
(terbiasa). Sembah jiwa merupakan laku batin. Penyuciannya harus awas
(waspada) dan emut (ingat). Sembah rasa yaitu laku yang dapat
mencapai rasa sejati. Ia harus bisa merasakan hidup ini. Pelaksanaannya dengan
kesentosaan batin. Dengan sembah tersebut calon abdi akan berhasil menjadi yang
sejati.
Etika mengabdi kepada raja, jika ditaati akan menyebabkan seorang abdi
mudah naik pangkat. Hal ini seperti diterakan dalam Serat Panitisastra,
“kalawan wong wus limpad wredining, sastra iku ngresepaken manah, ing raja glis
pangundange”. Artinya apabila bawahan tahu sastra (etika) akan dianggap
memiliki kelebihan di hadapan raja. Bawahan tersebut akan diangkat
kedudukannya. Itulah sebabnya, cara duduk, cara kerja, keberanian, dan segala
kepandaiannya akan dipertimbangkan oleh raja. Itulah sebabnya, apapun yang
menjadi aturan raja hendaknya ditaati karena raja adalah wakil Tuhan. Bawahan
juga harus bersikap jujur di hadapan raja. Kalaupun harus dibunuh oleh raja
karena dipersalahkan atas kejujurannya, ia akan masuk surga.
c.
Etika anak dan istri
Seorang anak diharapkan berpegang pada etika, antara lain: (a) ingat (eling)
terhadap perjuangan leluhurnya (ayahnya) dan percaya diri, (b) mendo’akan
anak-ananknya, semoga anaknya bisa meneruskan perjuangan orangtuanya, (c)
memberikan pertimbangan tentang pernikahan anaknya, yani harus mendapatkan
jodoh yang seimbang kedudukannya, (d) harus memiliki rumah atas ushanya
sendiri, (e) harus memiliki kedudukan yang pasti, (f) sudah mempunyai kebiwaan
yang besar, (g) hendaknya bersikap narima ing pandum, menerima pemberian
Tuhan denga ikhlas dan (h) selalu bersyukur.
Orang tua menjadi pimpinan dari anak-anaknya, karena itu pesan-pesan
orang tua bagi anak sangat diperlukan. Dalam kaitan ini, orang tua memiliki
falsafah sebagai sembur-sembur adas, siram-siram bayem. Maksudnya menjadi
penyejuk anak-anaknya, karena petuah dan petunjuk yang mereka berikan.
Pesan-pesan itu banyak terkait dengan masalah-masalah etika kehidupan dan
biasanya disampaikan dalam bentuk wewaler (larangan), agar hidup
anak-anaknya selamat. Diantara pesan itu adalah: jangan sampai terkecoh, jangan
malu, jangan berbuat rusuh, jangan berbuat jahat terhadap waraga, jangan
membuat marah orang tua.
Orang tua mempunyai tanggungjawab dalam mardi siwi (mendidik dan
mendewasakan anak). Ajaran yang disampaikan adalah tentang kehidupan. Anak
hendaknya bisa memegang ilmu tasawuf dan hakikat hidup. Dalam konteks
dijelaskan bahwa anak terutama pemuda, hendaknya menguasai ilmu ghaib yang
sungguh-sungguh, jangan sampai hanya seperti boreh (bunga harum) hanya
diluar daging saja pemakaiannya. Artinya, jika ada bahaya tidak berani
menghadapi. Itulah sebabnya anak jangan malu-malu bertanya kepada para ahli
tentang ilmu kehidupan. Hakikat kebenaran ilmu itu tidak harus dimiliki orang
yang lebih tua, bisa jadi juga dimiliki anak muda, karena itu jangan segan
bertanya.
Orang tua harus bertindak bijaksana memberi petunjuk agar anaknya kelak
selamat. Orang tua sebagai pemimpin bertugas ngentas pitulus (membesarkan
dan mendewasakan anak). Ia sebagai perantara hidup harus mampu mengemban amanat
untuk membimbing anaknya menjadi ‘manungsa sejati’.
Etika bagi wanita ada beberapa hal, baik dalam hubungan masyarakat secara
umum maupun dalam keluarga. Etika dalam masyarakat umum yaitu berhati-hati,
sikap hemat, menjaga kehormatan, segala perilaku harus dipikirkan dan dirahkan
ke hal yang baik. Hubungan denga suami hendaknya; rajin, menghindari perilaku
cacat, jangan menurutkan keinginan pribadi, mempertimbangkan berbagai hal.
Wanita bisa menjadi pemimpin, setidaknya menggantikan suami bila sedang
tida ada di rumah. Ada 3 hal kewajiban istri yang utama yaitu wedi, gemi, dan
gumati. Wedi (takut) artinya jangan menyangkal pembicaraan atau menolak
suruhan suami, gemi (hemat) artinya jangan boros, gumati (setia)
artinya cinta kepada semua yang disukai suami dan menyediakannya.
d.
Etika generasi muda dan pendeta
Generasi muda yang akan mencapai kamukten (cita-cita tinggi),
berpangkat, hendaknya sabar. Jangan nggege mangsa ibaratnya seperti
mengharapkan buah durian, jika telah masak, akan jatuh sendiri dan enak
rasanya. Keinginan demikian sangatlah hina, apalagi kalau ingin cari pujian.
Orang lain akan memandang mereka justru rendah, orang yang telah asih bisa jadi
berkurang respeknya. Akhirnya pada suatu saat generasi muda tadi akan merasa
menyesal terhadap sikap dan perbuatannya.
Gambaran demikian terkandung pesan filosofi bahwa kemuliaan hidup itu
dirangsang tuna ginayuh luput. Artinya, jika belum menjadi pepinta (takdirnya),
sulit dikejar dalam ungkapan Jawa, dikemukakan siji pati loro jodho lan telu
tiba-tiba ning wahyu, ihwal wahyu ini sulit diburu. Itulah sebabnya,
generasi muda harus tahu diri, bisa mawas diri jika ingin bercita-cita.
Mengejar cita-cita boleh, namun dilarang mencari ‘jalan pintas’ yang tidak
dibenarkan oleh aturan.
Generasi muda yang ingin menjadi pimpinan, hendaknya harus sanggup
melaksanakan kewajiban. Modal untuk menjadi pimpinan bukanlah berdukun, dengan
persyaratan yang tak rasional, minta berkah kepada pohon dan arca. Modal utama
adalah selalu rajin, berusaha keras meningkatkan ilmu pengetahuan, dan setia
terhadap kewajiban. Generasi muda ibarat satriya luhur, karena itu untuk
memperbanyak pengetahuan juga perlu berguru kepada pendeta yang tahu segala
hal. Dalam memilih guru oun perlu hati-hati, jangan keliru pendeta yang aleman
(minta sanjungan).
Seorang pendeta adalah guru. Dia akan menjadi sumber pertanyaan siapa
saja. Pendeta ada yang mendapat julukan Pandhita Sastra Genyang, artinya
pendeta yang benar-benar wignya (paham) tentang ngelmu. Dia kaya
pengetahuan kebatinan dan tahu berbagai hal. Itulah sebabnya, setiap saat harus
siap menjadi paran pitakon, artinya tempat orang menanyakan segala
sesuatu.
Etika bagi seorang pendeta (resi) yaitu agar seorang pendeta
memiliki 7 tingkah laku: paramasastra (tahu kesustraan), paramakawi
(ahli bahasa kawi), mardibasa (pandai menggunakan kata), mardawalagu
(bisa bersikap manis kepada sesama, awicarita (kaya cerita dan
kepandaian), nawungkridha (tahu ilmu kesempurnaan), sambegana (selalu
ingat). Kedudukan pendeta itu tinggi dan harus menguasai segala ilmu atau disebut
mumpuni atau gambuh salwiring kawruh.
Di samping itu pendeta harus melaksanakan 8 hal, yaitu asih terhadap
murid, tekun mngajar, tanpa pamrih, tanggap sasmita, dapat mengetahui apa yang
diharapkan siswa, dapat menjawab segala pertanyaan siswa, tidak menganggap
remeh kemampuan siswa, tidak gila sanungan. Pendeta yang memiliki derajat utama
harus melaukan delapan hal, yakni berhati mulus tanpa cacat badankata-katanya
halus, sikap baik, mantap, berjuang ke arah keadilan , cermat, berjuang demi
kebaikan, tidak memiliki pakareman.[8]
D. Pandangan Hidup Masyarakat Jawa
1.
Sikap
hidup orang Jawa
Untuk memotret sikap hidup
orang jawa, dapat di nukilkan dari serat sasangka djati yang terdapat
dalam 8 sikap dasar (hasta sila), terdiri dua pedoman, trisila dan pancasila.
Trisila merupakan pokok yang harus dilaksanakan setiap hari berupa eling
atau sadar, percaya (pracaya), dan setia perintah (mituhu). Sadar
ialah selalu berbakti kepada Tuhan Yang Maha Tunggal yakni kesatuan tiga sifat,
sukma kawekas (Allah Ta’ala), sukma sejati (Rosulullah), dan ruh
suci (jiwa manusia sejati), ketiganya di sebut tripurusa. Sedangkan
percaya bermakna meyakini terhadap sukma
sejati (guru suci), dan melaksanakan perintah-Nya yang di sampaikan melalui
Rosul-Nya.
Untuk melaksanakan hal tersebut, manusia harus berwatak dan
bertingkah laku terpuji (pancasila) berupa rela (rila), menerima nasib (narima),
setia pada janji (temen), lapang dada (sabar), dan memiliki budi yang baik
(berbudi luhur). Kelima sila tersebut menurut R.Soenarto memiliki jabaran
sebagai berikut, rela adalah keikhlasan hati sewaktu menyerahkan segala
miliknya, kekuasaanya, dan seluruh hasil karyanya kepada Tuhan dengan tulus
ikhlas, sedangkan menerima nasib adalah tindakan memginginkan milik orang lain,
tidak iri hati dengan kebahagian orang lain. Adapun setia pada janji maksudnya
menepati janji dalam hati atau yang di
ucapkannya sendiri. Lapang dada bermakna kuat dari segala cobaan (momot),
bukan berarti putus asa. Adapun berbudi luhur adalah cerminan perilaku yang
menjalankan hidup dengan segala tabiat dan sifat yang mulia (kasih sayang, adil,
tidak membedakan antar sesama) dan tanpa mengharap imbalan. Semua sikap hidup tersebut
berpedoman hidup orang Jawa yakni ojo dumeh (perwujudan untuk tidak sombong dan
untuk mawas diri) berupa ojo dumeh kuwoso, pinter, kuat lan gagah, menang,
sedangkan ojo mumpung (perwujudan memanfaatkan kesempatan yang berlebihan).
Perlu juga berpegang pada pantangan berperilaku yang tertuang dalam serat
Wulang Reh karya Paku Buwana IV berupa adigang, adigung, adiguno. Adigang
adalah wataak sombong karena mengandalkan kekayaan dan pangkat, sedangkan adigung
adalah watak sombong karena mengandalkan kepandaian. Adapun Adiguna
adalah watak sombong karena mengandalkan keberanian dan kepintaran bersilat
lidah (berdebat). Solusi mengatasi ketiga
hal tersebut dengan watak rereh (sabar dan menekang diri), ririh
(tidak tergesa-gesa dalam bertindak, mempunyai pertimbangan matang dalam
bertindak dan memutusakn), lan ngati-ngati
(berhati-hati dalam bertindak). Ketiga hal tersebut disempurnakan dengan deduga
(mempertimbangkan langkah) dan reringan (hati yakni di saat akan
melakukan aktivitas).
Untuk mewujudkan hal tersebut diperkokoh dengan pegangan orang Jawa
dalam, bertindak pertama, filsafat hidup yang religious berupa sesaji, ziarah
kubur, membakar kemenyan dan selamatan. Kedua, misti dan etika hidup yang menjunjung
tinggi moral dan derajat hidup berkaitan dengan kekuatan raga, seperti diam di
tempat sepi, memakai keris, tombak dan jimat. Ketiga yang berhubungan dengan
keluhuran, seperti tindakan terpuji, dan lima perbuatan (panca kreti)
berupa trapsila, ukara, sastra, susila, dan karya.
2.
Filsafat
hidup orang jawa
Sebelum memahami filsafat hidup perlu di dalami batasan
berfilsafat. Pertama untuk mencari pengertian dari yang tertutup menuju
kejelasan realita. Kedua, berpikir sedalam-dalamnya dengan penuh
tanggung jawab secara dalam dan menguak setiap gejala yang akan ditelaah untuk
mendapatkan simpulan umum dan rasional. Ketiga mencari kejelasan hukum
kualitas atau hubungan sebab-akibat, dan keempat, menggunakaan metode
untuk memecahkan masalah.
Berfilsafat diidentikan pandangan hidup dalam kehidupanya. Dalam
konteks masyarakat Jawa, berfilsafat identik
dengan pandangan hidup yang disebut kejawen atau agama Jawa.[9]
3.
Pola
pikir Jawa
Pola pikir Jawa merupakan bentuk penalaran yang lebih didasarkan
lebih pada pengalaman dan penghayatan daripada sistematis rasional logisnya.
Dari pengertian ini, jelas bahwa masyarakat Jawa memang memiliki dasar falsafah
hidup yang mewarnai sikap dan perilakunya. Sejak manusia lahir akan
keberadaannya di dunia, sejak saat itu pula ia mulai memikirkan akan tujuan
hidupnya, kebenaran, kebaikan dan Tuhan. Dalam ajaran filsafat Jawa mengenal konsep-konsep umum yakni :
pertama, konsep pantheistik (kesatuan) yaitu manusia dan jagad raya
merupakan percikan zat Ilahi, kedua konsep tentang manusia, ketiga,
konsep mengenai perkembangan.
Perwujudan konsepsi demikian akan terlihat dalam berbagai jenis filsafat Jawa yakni, pertama,
filsafah metafisika yakni bahwa
Tuhan adalah merupakan sangkan paraning dumadi. Kedua, epistemologi yaitu proses
memperoleh pengetahuan dengan mencapai kesadaran cipta, rasa, dan karsa, dan
kesadaran panca indra, kesadaran pribadi, dan kesadaran illahi. Ketiga,
falsafah aksiologi terkait dengan nilai etik dan estetis. Kelima
falsafah antropologia adalah Pola fikir yang berkisah tentang persoalan
manusia. Keenam falsafah ontologis dan metafisika (filsafat tentang
ada).
4.
Tuhan
dalam pandangan hidup Jawa (Takdir : mati, jodoh, dan wahyu)
Masalah takdir orang Jawa menyebut dengan istilah “pepesthen,
karsaning Allah, atau kodrat”. Oleh karena itu, orang Jawa selalu berasumsi
bahwa abang birune urip (warna hidup) tergantung takdir. Peristiwa
kehidupan yang menyangkut begja cilaka, lara kepenak, sugih mlarat, dan
sebagainya adalah garis atau pepesthen. Atas dasar ini, orang Jawa menyikapi
garis dengan pandangaan mung saderma
nglaakoni (sekedar menjalankan yang telah di tentukan) Tuhan.
Takdir Tuhan itu sudah di anggap pasti, tidak dapat di ubah. Dalam pemikiran orang Jawa, takdir akan
terkait dengan tiga hal, yaitu : siji pati, loro jodo, dan telu
tibaning wahyu. Maksudnya pertama umur atau kematian, kedua jodoh, dan
ketiga wahyu (nasib) telah ditentukan umur, jodoh, dan nasib adalah merupakaan
kuasa Tuhan. Mati adalah hak mutlak tuhan yang tak dapat di ganggu gugat. Dalam
hubungannya dengan takdir kematian, masyarakat Jawa juga percaya bahwa
bila dianiayaa hingga meninggal, kalau
tidak bersalah akan mati sahid. Mati sahid adalah mati yang utama. Tak jauh
berbeda dengan masalah mati, jodoh pun oleh orang Jawa di tanggapi sebagai hal
yang istimewa. Jodoh sudah menjadi kepastian sulit di tawar-tawar. Begitu pula
masalah nasib, termasuk di dalam harta kekayaan, orang Jawa selalu berprinsip nrima
ing pandum (menerima pemberien tuhan) masyarakat Jawa mempercayai adanya
kekayaan yang ditakdirkan oleh Tuhan
adalah sebuah jatah manusia hendaknya bersyukur
atas kekeyaan pemberian Tuhan itu.
Dapat disimpulkan bahwa orang Jawa percaya bahwa segala sesuatu yang terjadi pada manusia
itu merupakan kepastian Tuhan dengan mempertimbangkan ikhtiyar manusia. Tentang
kepercayaan orang Jawa terhadap takdir, siapapun tidak dapat manghalangi.
Ketentraman, kerajaan, kerusakan suatu
bangsa, kebahagiaan, dan sebainya telah di gariskan oleh tuhan.takdir ini tidak
bisa dirubah maka maanusia harus sumarah, mendasarkan diri pada kehendak Tuhan,
namun dengan demikian manusia berikhtiar. Kehadiran takdir tak membuat pribadi
jawa menjadi fatalistick, tak mau berusaha dan bekerja, jelas tek demikian,
fatalistic hanya di lakukan oleh orang yang berfrustasi dalam hidupnya, orang Jawa justru menentang faham fatalistik.
Orang Jawa berpendapat bahwa manusia wajib berikhtiar, maksudnya
dalam segala hal harus berusaha, manusia harus berusaha ketentuan ada di tangan
Tuhan. Ikhtiyar dalam Jawa dinamakan kupiya (usaha) secara lahir dan
batin. Penerimaan takdir perlu disertai
dengan watak eling (ingat). Oleh karena bagi orang yang ingat akan Tuhan
dan selalu waspada, akan menyadari sepenuh hati
bahwa nasib yang diberikan sudah
menjadi takdirnya.
Orang Jawa yang bertindak
waspada, menurut serat sewaka karya
mas Soemodirono diibaratkan seperti hewan rayap, ketika ada yang menggangu ia siap
dan segera masuk ke liaangnya dan justru sebaliknya, seperti halnya kadal dia
justru bersuara dan lari jika ada orang
lewat di dekatnya.[10]
IV.
KESIMPULAN
Masyarakat Jawa kaya akan tradisi. Hampir dalam setiap sendi-sendi
kehidupannya, masyarakat Jawa amat kental dengan tradisi. Bahkan dalam proses
kehidupan manusia, semuanya dilingkupi dengan tradisi. Dari dalam kandungan,
kelahiran, pertumbuhan, perkawinan, hingga kematian, semuanya dibungkus dalam
bingkai tradisi.
Dalam hal kepercayaan, masyarakat Jawa identik dengan kejawenannya.
Kejawen memuat nilai-nilai peninggalan leluhur, yang ditaati
dan kalau ditinggalkan ada perasaan tidak enak. Kekayaan nilai kejawen tidak
dapat diukur dari dunia material, melainkan dari aspek spiritual.
Masyarakat Jawa juga merupakan masyarakat yang
beretika. etika Jawa adalah keseluruhan norma dan penilaian yang dipergunakan
untuk mengetahui bagaimana mereka menjalankan hidupnya. Dunia Jawa begitu
mengatur tingkah laku masyarakatnya, masing-masing memeliki etika
sendiri-sendiri, dari mulai raja hingga rakyat jelata.
Masyarakat Jawa memiliki pedoman hidup yang
diwariskan secara turun-temurun oleh nenek moyangnya. Masyarakat Jawa memiliki
pola pikir dan falsafah hidup yang sarat akan makna. Falsafah-falsafah Jawa
banyak yang diabadikan dalam sebuah karya seni yang kebanyakan dalam bentuk
sastra yang disebut dengan serat.
V.
PENUTUP
Demikian
makalah ini kami buat. Kami memohon maaf apabila di dalam penyusunan makalah
ini masih tedapat banyak kekurangan dan kesalahan, karena kesempurnaan hanyalah
milik-Nya, dan kami hanyalah manusia yang tidak pernah luput dari kekurangan
dan kesalahan.
DAFTAR PUSTAKA
Chafidh,
M.Afnan dan Asrori, A. Ma’ruf,Tradisi
Islam, Cetakan IV,Tradisi Islam, Surabaya : Khalista, 2009.
Endraswara,
Suwardi, Agama Jawa : Laku Batin menuju Sangkan Paran, Yogyakarta :
Lembu Jawa,2011.
Endraswara,
Suwardi, Falsafah Hidup Jawa, Cetakan IV, Yogyakarta : Cakrawala, 2012.
Endraswara,
Suwardi, Kebatinan Jawa dan Jagad Mistik Kejawen, Yogyakarta : Lembu
Jawa, Cetakan I, 2011.
Rosyid,
Moh, Kebudayaan dan Pendidikan, Cetakan I,Yogyakarta : STAIN Kudus, 2009.
Yuwono,
Trisno, Pius Abdullah, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Praktis, Surabaya
: Arkola, 1994.
BIOADATA SINGKAT PENYUSUN
1.
Nama :
Firdha Naili Fitriyani
NIM : 123311017
Jurusan :
Kependidikan Islam
Tempat, tanggal lahir :
Kudus, 12 Maret 1995
Alamat :
Rw/Rt:01/01, Ds.Kaliwungu, kec.Kaliwungu, kab.Kudus
Pendidikan :
Ø TK : RA.NU
Miftahul Ma’arif, Kudus
Ø SD/MI : MI NU
Miftahul Ma’arif, Kudus
Ø SMP/MTs : MTs NU
Banat Kudus
Ø SMA/SMK/MA : MA NU Banat
Kudus
Ø S-1 : IAIN
Walisongo Semarang
HP : 083843066200
2.
Nama :
Iftitahul Hidayah
NIM :
123311021
Jurusan :
Kependidikan Islam
Tempat, tanggal lahir :
Batang, 08 Agustus 1994
Alamat :
Rt/Rw o2/o4, Ds.Mangunharjo, kec.Subah, kab.Batang
Pendidikan :
Ø SD/MI : SD
Mangunharjo 02, Batang
Ø SMP/MTs : MTs
Nurul Huda Banyuputih, Batang
Ø SMA/MA/SMK : MA Darul Amanah
Kendal
Ø S-1 : IAIN
Walisongo Semarang
E-mail : iftitah_hidayah@ymail.com
HP : 085712066772
3.
Nama : Min Khatul Maula
NIM :
123311026
Jurusan : Kependidikan Islam
Tempat, tanggal lahir :
Cirebon, 04 September 1993
Alamat : Rt/Rw 01/01, Ds.Durajaya,
Kec.Greged, Kab.Cirebon
Pendidikan :
Ø TK : TK
Nurul Falah, Cirebon
Ø SD/MI : SDN 1
Durajaya, Cirebon
Ø SMP/MTs : Mts KHAS
Kempek, Cirebon
Ø SMA/MA/SMK : MA KHAS Kempek,
Cirebon
Ø S-1 : IAIN
Walisongo Semarang
E-mail :
Minahal.syain_4@yahoo.co.id
HP : 0877030698
4.
Nama :
Muhammad Ali Riza Sihbudi
NIM : 123311029
Jurusan : Kependidikan Islam
Tempat, tanggal lahir :
Kendal, 13 Januari 1995
Aalamat : Rt/Rw 01/07 Ds.Kertomulyo,
Kec.Brangsong, Kab.Kendal
Pendidikan :
Ø SD/MI : MI
Kertomulyo, Kendal
Ø SMP/MTs : SMP N 2
Brangsong, Kendal
Ø SMA/MA/SMK : MAN Kendal
Ø S-1 : IAIN
Walisongo Semarang
E-mail :
reyza.alie@yahoo.co.id
HP : 085647787024
[1] Trisno Yuwono
dan Pius Abdullah, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Praktis, Surabaya :
Arkola, 1994, hlm. 433.
[2] Moh. Rosyid, Kebudayaan
dan Pendidikan, Cetakan I, Yogyakarta : STAIN Kudus, 2009, hlm. 103-105.
[3] M.Afnan
Chafidh dan A.Ma’ruf Asrori, Tradisi Islam, Cetakan IV, Surabaya : Khalista,
2009, hlm. 6-8.
[4] Moh.Rosyid, Kebudayaan
dan Pendidikan, Cetakan I, Yogyakarta : STAIN Kudus, 2009, hlm. 106-109.
[5] Trisno Yuwono
dan Pius Abdullah, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Praktis, Surabaya :
Arkola, 1994, hlm. 322.
[6] Suwardi
Endraswara, Kebatinan Jawa dan Jagad Mistik Kejawen, Yogyakarta : Lembu
Jawa, Cetakan I, 2011, hlm. 13-14.
[7] Suwardi
Endraswara, Agama Jawa : Laku Batin menuju Sangkan Paran, Yogyakarta :
Lembu Jawa, Cetakan I, 2012, hlm. 19-22.
[8] Suwardi Endraswara, Falsafah
Hidup Jawa, Cetakan IV, Yogyakarta : Cakrawala, 2012, hlm. 137-155.
[9] Moh.Rosyid, Kebudayaan
dan Pendidikan, Cetakan I, Yogyakarta : STAIN Kudus, 2009, hlm. 86-89.
[10] Suwardi Endraswara, Falsafah
Hidup Jawa, Cetakan IV, Yogyakarta :
Cakrawala, 2012, hlm. 43-64.
Komentar
Posting Komentar